KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Hidayah dan
Karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Makalah tentang “Reformasi
yang dapat memperbaiki nasib bangsa dan mengangkat harkat martabat bangsa dari
pandangan luar” ini.
Makalah ini saya buat
berdasarkan salah tugas Softkill yang diberikan oleh dosen Mata Kuliah Pend.
Kewiraan & Kewarganegaraan, Bapak H. Moesadin Malik.,Ir.,M.Si. yang kami
hormati. Adapun Tujuan dari penulisan Makalah ini diharapakan kelak kemudian
dapat berguna dan bermanfaat untuk menambah informasi dan pengetahuan tentang Reformasi
yang dapat memperbaiki nasib bangsa dan mengangkat harkat martabat bangsa dari
pandangan luar.
Saya
menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan makalah ini jauh dari sempurna,
untuk itu saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata Saya ucapkan terimakasih dan mudah
– mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca serta
dapat membantu rekan – rekan lainnya pada saat dimana masa yang akan datang.
Depok, 09 Juni 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Reformasi
adalah perubahan.
Sejak
dikumandangkan bulan Mei 1998, reformasi di segala bidang, tengah digalakkan
oleh bangsa kita dengan semangat untuk menegakkan demokrasi. Tapi apa yang bisa
kita rasakan dan kita lihat dari hasil reformasi ini? Reformasi yang telah
berjalan enam belas tahun ini semula bertujuan menegakkan demokrasi dan HAM,
kini kita lihat hasilnya.
Reformasi
yang dapat memperbaiki nasib bangsa dan mengangkat harkat martabat
bangsa.Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik
secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih baik, demo-kratis
berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Gerakan reformasi
lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi kehidupan. Krisis
politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan faktor-faktor yang
mendorong lahirnya gerakan reformasi.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan Hakikat Reformasi?
2. Apa
saja bentuk-bentuk Reformasi?
4.
Bagaimana terjadinya kronologi Reformasi?
5.
Apa
solusi pasca Reformasi?
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat bertujuan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan KewargaNegaraan. Selain itu
bertujuan memberikan penjabaran
mengenai reformasi yang dapat memperbaiki nasib bangsa dan mengangkat harkat
dan martabat bangsa dari pandangan dunia luar.
1.4 Metode Pengumpulan Data
Dalam makalah ini kami memperoleh data
melalui internet.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Reformasi
Reformasi merupakan
suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional.
Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, dan budaya yang lebih baik, demo-kratis berdasarkan prinsip kebebasan,
persamaan, dan persaudaraan. Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas
krisis yang melanda berbagai segi kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum,
dan krisis sosial merupakan faktor-faktor yang mendorong lahirnya gerakan
reformasi. Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi salah satu indikator yang
menentukan. Artinya, reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak boleh
ditawar-tawar lagi dan karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia mendukung
sepenuhnya gerakan tersebut. Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia
menghendaki adanya pergantian kepemimpinan nasional sebagai langkah awal.
Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat memperbaiki kehidupan
politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Semua itu merupakan jalan menuju
terwujudnya kehidupan yang aman, tenteram, dan damai. Rakyat tidak
mempermasalahkan siapa yang akan pemimpin nasional, yang penting kehidupan yang
adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan dapat segera terwujud (cukup
pangan, sandang, dan papan). Namun demikian, rakyat Indonesia mengharapkan agar
orang yang terpilih menjadi pemimpin nasional adalah orang yang peduli terhadap
kesulitan masyarakat kecil dan krisis sosial.
Tetapi reformasi kita hanya merupakan
perubahan kekuasaan atau pergantian penguasa. Setelah sekian lama berjalan,
reformasi tidak menghasilkan perbaikan bagi nasib bangsa. Di mana letak
kesalahannya? Pertama kita miskin wawasan dan analisis yang tajam, mendasar dan
detil. Kedua, kita miskin kesadaran manajemen koflik. Ketiga, kita tidak
punya sumber daya manusia yang memahami apa itu reformasi.
Tokoh-tokoh atau penggerak roda reformasi
tidak menyadari siapa dan siapa kawan. Kaum reformis mestinya paham benar bahwa
yang dihadapi (target reformasi) adalah kekuasaan yang telah begitu lama
membentuk jaringan yang kuat dan luas. Tetapi yang lebih penting dari itu ialah
pemahaman bahwa penguasa saat itu merupakan penjajahan oleh bangsa sendiri.
Namun juga harus diakui bahwa penguasa saat itu hanyalah boneka dari kekuatan
asing. Maka bisa dikatakan bahwa selain merupakan penjajahan oleh bangsa
sendiri, kita juga dijajah secara tidak langsung oleh bangsa asing.
Reformasi pada dasarnya adalah konflik antara
dua pihak. Di satu pihak berdiri kekuatanstatusquo, di pihak lain satu
kekuatan yang melawan statusquo, yang menuntut perubahan. Namun
kita juga tidak bisa menutup mata, bahwa gerakan reformasi itu sendiri bukanlah
satu kubu yang tunggal. Dalam hal ini kasusnya sebanding dengan perjuangan
kemerdekaan dulu. Ketika masih berjuang untuk merebut kemerdekaan nyaris tidak
ada perpecahan, meskipun jelas ada perbedaan paham. Namun setelah merdeka, timbul
perpecahan dan ancaman separatisme. Perbedaan dan perpecahan dalam kubu
reformis itulah yang membuat reformasi tidak berlanjut. Ketika sesama reformis
bertikai karena beda kepentingan, elemen-elemn statusquo yang
memang masih kuat tampil kembali dan berhasil dengan gemilang.
2.2 Bentuk Reformasi
Reformasi di bagi dalam
3 bentuk :
1) Reformasi Prosedural, adalah tuntutan untuk melakukan perubahan pada tataran
normatif atau aturan perundang-undangan dari yang berbentuk otoriter menuju
aturan demokratis. Undang- Undang yang mengatur bidang politik harus menjamin
adanya ruang kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas politik.
Undang- Undang yang mengatur bidang sosial budaya harus memberikan kesempatan
masyarakat untuk membentuk kelompok sosial sebagai ekspresi kolektif dari
identitas masing- masing. Undang-undang yang mengatur bidang ekonomi harus
melindungi kepentingan masyarakat umum (ekonomi kerakyatan) bukan pengusaha dan
penguasa. Begitulah kira- kira gambaran umum arah reformasi prosedural. Pada
konteks ini, hemat penulis , Indonesia dapat dikatakan telah menjalankan
reformasi prosedural itu. Pasca tahun 1998, peraturan perundang- undangan telah
banyak dirubah bahkan peraturan yang mendasari berdirinya Republik Indonesia
yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sudah empat kali dilakukan perubahan
(amandemen).
Undang-Undang No 5
Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah daerah yang dinilai sentralistik
telah dirubah menjadi Undang-Undang 22 Tahun 1999 dan dirubah lagi menjadi
Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang menjunjung tinggi
asas demokrasi yaitu dengan adanya desentralisasi kekuasaan dan kewenangan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pembahasan perubahan kesemua
undang-undang tidak mungkin dibahas pada tulisan ini. Setidaknya dalam era
reformasi ini secara prosedural terbersit harapan adanya repositioning pola
relasi antara masyarakat dan negara, seperti yang dicatat oleh Lukman Hakim
dalam bukunya yang berjudul Revolusi Sistemik (2003:196) di era reformasi,
negara telah memberi kesempatan seluas mungkin kepada rakyat untuk melakukan
usaha-usaha produktif guna memperkuat posisi tawarnya terhadap
negara.Pertanyaannya, rakyat yang mana yang dapat merasakan reformasi
prosedural itu? Rakyat, menurut Gramsci ada tiga model yakni rakyat kapital,
rakyat politik kolektif, dan rakyat proletar. Hemat penulis, selama ini
reformasi prosedural hanya dinikmati oleh rakyat kapital (konglomerat) dan
rakyat politik kolektif (Parpol,LSM). Sedangkan rakyat proletar (masyarakat
tani dan buruh) hanya menjadi penonton, objek politik, dan bahkan seringkali di
eksploitasi oleh politikus, pengusaha, dan penguasa.
2 2) Reformasi Struktural, adalah tuntutan perubahan institusional negara dari
birokratik menuju birokrasi. Birokratik adalah lembaga negara yang hirarkis,
sentralistik dan otoriter. Birokrasi adalah lembaga negara yang responsif,
penegak keadilan, transparantif, dan demokratis yang menegakkan
istilah-istilah suport system reformasi yang diuaraikan diawal
tulisan ini. Terbentuknya sejumlah lembaga non struktural (komisi) menandakan
Indonesia telah masuk pada reformasi struktural. Komisi adalah Lembaga ekstra
struktural yang memiliki fungsi pengawasan, mengandung unsur pelaksanaan atau
bersentuhan langsung dengan masyarakat atau pihak selain instansi
pemerintah (lapis primary), biasanya anggota terdiri dari
masyarakat atau profesional dan kedudukan sekretariat tidak menempel dengan
instansi pemerintah konvensional. Pasca gerakan reformasi 1998 hingga saat ini
lembaga non struktural berjumlah 12 komisi, yakni: Komisi Pemberantasan
Korupsi, Komisi Yudisial, Komisi Hukum Nasional, Komisi Ombudsman, Komisi
Nasional HAM, Komisi Kepolisian Negara, Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
Komisi Penyiaran Nasional, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Perlindungan Anak Indonesia,
Komisi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Kejaksaan. Lembaga non
struktural tersebut memiliki kewenangan, yakni: meminta bantuan, melakukan
kerjasama dan atau koordinasi dengan aparat atau institusi terkait, melakukan
pemeriksaan (investigasi), mengajukan pernyataan pendapat,
melakukan penyuluhan, melakukan kerjasama dengan perseorangan, LSM, Perguruan
Tinggi, Instansi Pemerintah, Memonitor dan mengawasi sesuai dengan bidang
tugas, Menyusun dan menyampaikan laporan rutin dan insidentil, Meningkatkan
kemampuan dan keterampilan anggota. Pada umumnya, komisi-komisi tersebut
memiliki kewenangan untuk menegakkan keadilan dan membantu masyarakat untuk
memonitoring, membina, mengawasi, dan menyelidiki proses kerja lembaga negara,
Presiden,MA,MK,DPR,DPD, dan seluruh jajaran birokrasi dibawahnya agar
menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik sehingga terwujudnya pemerintahan
yang bersih dan baik (clean and good governance) yaitu
birokrasi yang sanggup menempatkan dirinya sebagai pelayan masyarakat.
3) Reformasi Kultural, adalah tuntutan untuk melakukan perubahan pola pikir, cara pandang,
dan budaya seluruh elemen bangsa untuk menerima segala perubahan menuju bangsa
yang lebih baik. Reformasi kultural merupakan kata kunci untuk mewujudkan
agenda reformasi prosedural dan struktural yang dijelaskan di atas. Tanpa
adanya reformasi kultural, reformasi prosedural dan struktural hanyalah sebuah
simbol yang tidak memiliki makna apa-apa. Diandaikan sebuah komputer, reformasi
prosedural dan kultural adalah hadwernya, reformasi kultural
adalah softwernya. Hardware tanpa software itu bukan dikatakan
komputer yang baik.
2.3. Sebab-sebab
munculnya Reformasi
Beikut ini adalah
penyebab munculnya Reformasi:
1. Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok merupakan faktor atau
penyebab utama lahirnya gerakan reformasi.
2. Krisis politik
Krisis politik yang
terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik
pemerintahan orde baru. Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan
pemerintahan orde baru selalu dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan
demokrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah dalam rangka
mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya,
demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan orde baru bukan demokrasi yang
semestinya, melainkan demokrasi rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi bukan
demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan demokrasi yang
berarti dari, oleh, dan untuk penguasa.
Pemerintahan orde baru
selalu melakukan intervensi terhadap ke-hidupan politik. Misalnya, ketika
Kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI) memilih Megawati Soekarnoputri sebagai
ketua partai, sedangkan pemerintahan Suharto menunjuk Drs. Suryadi sebagai
ketua PDI. Kejadian itu mengakibatkan keadaan politik dalam negeri mulai
memanas. Namun, pemerintahan orde baru yang didukung Golongan Karya (Golkar)
merasa tidak bersalah. Keadaan itu sengaja direkayasa oleh pemerintah dalam
rangka memenangkan pemilihan umum secara mutlak seperti tahun-tahun
sebelumnya.Rekayasa-rekayasa politik terus dibangun oleh pemerintah orde baru
sehingga pasal 2 UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pasal
2 UUD 1945 berbunyi bahwa: 'Kedaulatan
ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MajelisPermusyawaratan
Rakyat'. Namun dalam kenyataannya, kedaulatan ada di tangan seke-lompok orang
tertentu. Anggota MPR sudah diatur dan direkayasa sehingga sebagian besar
anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan. Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila anggota MPR/DPR terdiri dari para istri, anak, dan
kerabat dekat para pejabat negara. Keadaan itu mengakibatkan munculnya rasa
tidak percaya masya-rakat terhadap institusi pemerintah, MPR, dan DPR.
Ketidakpercayaan itulah yang menyebabkan lahirnya gerakan reformasi yang
dipelopori para mahasiswa dan didukung oleh para dosen maupun kaum
cendekia-wan. Mereka menuntut agar segera dilakukan pergantian
presiden, reshuffle kabinet, menggelar Sidang Istimewa MPR, dan
melaksanakan pemilihan umum secepatnya. Gerakan reformasi menuntut untuk
mela-kukan reformasi total dalam segala bidang kehidupan, termasuk keang-gotaan
MPR dan DPR yang dipandang sarat KKN. Di samping itu, gerakan reformasi juga
menuntut agar dilakukan pembaruan terhadap lima paket undang-undang politik
yang dianggap sebagai sumber ketidakadilan. Keadaan partai-partai politik dan
Golkar dianggap tidak mampu menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Pembangunan nasional selama pemerintahan orde baru dipandang telah gagal
mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam
keadilan.
Krisis politik semakin
memanas, setelah terjadi peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa
itu sebagai akibat pertikaian internal dalam tubuh PDI. Kelompok PDI pimpinan
Suryadi menyerbu kantor pusat PDI yang masih ditempati oleh PDI pimpinan
Megawati. Peristiwa itu menimbulkan kerusuhan yang membawa korban, baik
kendaraan, rumah, pertokoan, perkantoran, dan korban jiwa. Pada dasarnya,
peristiwa itu merupakan ekses dari kebijakan dan rekayasa politik yang dibangun
pemerintahan orde baru.
Pada masa orde baru,
kehidupan politik sangat represif, yaitu ada-nya tekanan yang kuat dari
pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis.
Ciri-ciri kehidupan politik yang represif, di antaranya:
1. Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh
sebagai tindakan subversif (menentang Negara Kesatuan Republik
Indonesia).
2. Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau
demokrasi rekayasa.
3. Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
yang merajalela dan masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengontrolnya.
4. Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang
memasung kebebasan setiap warga negara (sipil) untuk ikut berpartisipasi dalam
pemerintahan.
5. Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto
dipilih menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR, tetapi pemilihan itu
merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis
Ciri-ciri itulah yang
menjadi isi tuntutan atau agenda reformasi di bidang politik.
Sepanjang tahun 1996,
telah terjadi pertikaian sosial dan politik dalam kehidupan masyarakat.
Kerusuhan terjadi di mana-mana, seperti pada bulan Oktober 1996 di Situbondo
(Jatim), Desember 1996 di Tasikmalaya (Jabar) dan di Sanggau Ledo yang meluas
ke Singkawang dan Pontianak (Kalbar). Ketegangan politik terus berlanjut sampai
menjelang Pemilu Tahun 1997 yang berubah menjadi konflik antar etnik dan agama.
Pada bulan Maret 1997, terjadi kerusuhan di Pekalongan (Jateng) yang meluas ke
seluruh wilayah Indonesia. Bahkan, kerusuhan di Banjarmasin meminta korban jiwa
yang tidak sedikit jumlahnya. Keadaan itulah yang ikut mendorong lahirnya
gerakan reformasi.
Kekecewaan rakyat
semakin memuncak ketika semua fraksi di DPR/MPR mendukung pencalonan Suharto
sebagai presiden untuk masa jabatan 1998-2003. Dalam Sidang Umum MPR bulan
Maret 1998, Suharto terpilih sebagai Presiden RI dan B.J. Habibie sebagai Wakil
Presiden untuk masa jabatan 1998-2003. Bahkan, MPR menetapkan beberapa
ketetapan yang memberikan kewenangan khusus kepada presiden untuk mengendalikan
negara. Semua itu tidak dapat dipisahkan dari komposisi keanggotaan MPR yang
lebih mengarah pada hasil-hasil nepotisme.
Kekecewaan masyarakat
terus bergulir dan berusaha menekan kepemimpinan Presiden Suharto melalui
berbagai demonstrasi. Para mahasiswa, anggota LSM, cendekiawan semakin marah
ketika bebe-rapa aktivitis ditangkap oleh aparat keamanan. Gerakan reformasi
tidak dapat dibendung dan dipandang sebagai satu-satunya jawaban untuk menata
kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik.
3. Krisis hukum
Rekayasa-rekayasa yang
dibangun pemerintahan orde baru tidak terbatas pada bidang politik. Dalam
bidang hukum pun, pemerintah melakukan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan
harus dilaksanakan untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk
melayani masyarakat dengan penuh keadilan. Bahkan, hukum sering dijadikan alat
pembenaran para penguasa. Kenyataan itu bertentangan dengan ketentuan pasa 24
UUD 1945 yanf menyatakan bahwa 'kehakiman
me-miliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah
(eksekutif)'.
Sejak munculnya gerakan
reformasi yang dimotori para mahasiswa, masalah hukum telah menjadi salah satu
tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar
setiap persoalan dapat ditempatkan pada posisinya secara proporsional.
Terjadinya ke-tidakadilan dalam kehidupan masyarakat, salah satunya disebabkan
oleh sistem hukum atau peradilan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, para mahasiswa menuntut agar reformasi di bidang hukum
dipercepat pelaksanaannya. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah
satu pilar terwujudnya kehidupan yang demo-kratis, sekaligus sebagai wahana
untuk mengadili seseorang sesuai dengan kesalahannya.
4. Krisis ekonomi
Krisis moneter yang
melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi perkembangan
perekonomian Indonesia. Ter-nyata, ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi
krisis global yang melanda dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1
Agus-tus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp 2,575.oo menjadi Rp 2,603.oo
per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp 5,000.oo per dollar. Bahkan,
pada bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik
terendah, yaitu Rp 16,000.oo per dollar.
Melemahnya nilai tukar
rupaih mengakibatkan pertumbuhan eko-nomi Indonesia menjadi 0% dan iklim bisnis
semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan dan
beberapa bank harus dilikuidasi pada akhir tahun 1997. Untuk membantu bank-bank
yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Ternyata,
usaha pemerintah itu tidak dapat mem-berikan hasil karena pinjaman bank-bank
bermasalah justru semakin besar.
Keadaan di atas
mengakibatkan pemerintah harus menanggung beban hutang yang sangat besar. Di
samping itu, kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia semakin menurun
dan gairah investasi pun semakin melemah. Pada tahun 1998, pemerintah Indonesia
mem-buat kebijakan uang ketat dan bunga bank tinggi guna membangun kepercayaan
dunia internasional. Namun, krisis moneter tetap tidak dapat diatasi.
Banyak perusahaan yang
tidak mampu membayar hutang-hutang luar negerinya, meskipun telah jatuh tempo.
Oleh karena itu, beberapa perusahaan harus mengurangi kegiatannya dan sebagian
lagi harus menghentikan kegiatannya sama sekali. Akibatnya, pemutusan hubungan
kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Angka penganggguran pun terus meningkat dan
daya beli masyarakat terus melemah. Kesenjangan ekonomi yang telah terjadi
sebelumnya semakin melebar seiring dengan terjadinya krisis ekonomi.
Kondisi perekonomian
nasional semakin memburuk pada akhir tahun 1997 sebagai akibat persediaan
sembako semakin menipis dan menghilang dari pasar. Akibatnya, harga-harga
sembako semakin tinggi. Kekurangan makanan dan kelaparan melanda beberap
wilayah Indonesia, seperti di Irian Barat (Papua), Nusa Tenggara Timur, dan
beberapa daerah di pulau Jawa. Untuk mengatasi persoalan itu, peme-rintah meminta
bantuan kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, bantuan dana dari IMF
belum dapat direalisasikan. Padahal, pemerintah Indonesia telah menandatangani
50 butir kesepahaman, Letter of Intent (LoI) pada tanggal 15
Januari 1998.
Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:
1) Hutang Luar Negeri Indonesia.
Hutang luar negeri
Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi.
Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapi sangat besar
pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi. Sampai bulan
Februari 1998, sebagaimana disampaikan Radius Prawiro pada Sidang Pemantapan
Ketahanan Ekonomi yang dipim-pin Presiden Suharto di Bina Graha, hutang
Indonesia telah menca-pai 63,462 dollar Amerika Serikat, sedangkan hutang
swasta menca-pai 73,962 dollar Amerika Serikat.
2) Pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945.
Pemerintah orde baru
ingin menjadikan negara RI sebagai negara industri. Keinginan itu tidak sesuai
dengan kondisi nyata masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan
sebuah masyarakat agraris dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah
(rata-rata). Oleh karena itu, mengubah Indonesia menjadi negara industri
merupakan tugas yang sangat sulit karena masyarakat Indonesia belum siap untuk
bekerja di sektor industri. Itu semua merupakan kesalahan pemerintahan orde
baru karena tidak dapat melaksanakan pasal 33 UUD 1945 secara konsisten dan
kon-sekuen.
3) Pemerintahan Sentralistik.
Pemerintahan orde baru
sangat sentral-istik sifatnya sehingga semua kebijakan ditentukan dari Jakarta.
Oleh karena itu, peranan pemerintah pusat sangat menentukan dan peme-rintah
daerah hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Misalnya, dalam
bidang ekonomi, di mana semua kekayaan diangkut ke Jakarta sehingga peme-rintah
daerah tidak dapat mengembang-kan daerahnya. Akibatnya, terjadilah ketimpangan
ekonomi antara pusat dan daerah. Keadaan itu mempersulit Indonesia dalam
menga-tasi krisis ekonomi karena daerah tidak tidak mampu memberikan kontribusi
yang memadai.
5. Krisis sosial
Krisis politik, hukum,
dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik
yang represif dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik
maupun konflik antar etnis dan agama. Semua itu berakhir pada meletusnya
berbagai kerusuhan di beberapa daerah. Pelaksanaan hukum yang berkeadilan
sering menim-bulkan ketidakpuasan yang mengarah pada terjadinya
demonstrasi-demonstrasi maupun kerusuhan. Sementara, ketimpangan perekono-mian
Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial. Pengangguran,
persediaan sembako yang terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya
beli masyarakat merupakan faktor-faktor yang rentan terhadap krisis sosial.
Krisis sosial dapat
terjadi di mana-mana tanpa mengenal waktu dan tempat. Tingkat pendidikan
masyarakat yang rendah dapat menjadi faktor penentu karena sebagian besar warga
masyarakat tidak mampu mengendalikan dirinya. Sementara, para mahasiswa dan
para cende-kiawan dengan kemampuannya dapat mengkritisi berbagai kebijakan
pemerintah. Untuk itu, salah satu jalan yang sering ditempuh adalah melakukan
demonstrasi secara besar-besaran. Semangat para maha-siswa telah mendorong para
buruh, petani, nelayan, pedagang kecil untuk melakukan demonstrasi. Semua itu
merupakan sumber krisis sosial.
Demonstrasi-demonstrasi
yang tidak terkendali mengakibatkan kehidupan di perkotaan diliputi kecemasan,
rasa takut, tidak tenteram dan tenang. Situasi yang tidak terkendali telah
mendorong sebagian masyarakat, terutama dari etnis Cina untuk memilih pergi ke
luar negeri dengan alasan keamanan.
6. Krisis kepercayaan
Krisis multidimensional
yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap
kepemimpinan Presiden Suharto. Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun
kehidupan politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem
peradilan, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat
banyak telah melahirkan krisis kepercayaan.
2.4 Kronologi Terjadinya Reformasi
Secara garis besar, kronologi gerakan reformasi dapat
dipaparkan sebagai berikut:
a. Sidang Umum MPR (Maret 1998) memilih Suharto dan B.J.
Habibie sebagaiPresiden dan Wakil Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003.
Presiden Suharto membentuk dan melantik Kabinet Pembangunan VII.
b. Pada bulan Mei 1998, para
mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi dan aksi
keprihatinan yang menuntut penurunan harga barang-barang kebutuhan (sembako),
penghapusan KKN, dan mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan.
c. Pada tanggal 12 Mei 1998,
dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta telah terjadi
bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan empat orang mahasiswa (Elang
Mulia Lesmana, Hery Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie) tertembak
hingga tewas dan puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka-luka. Kematian empat mahasiswa tersebut mengobarkan semangat
para mahasiswa dan kalangan kampus untuk menggelar demonstrasi secara
besar-besaran.
d. Pada tanggal 13-14 Mei 1998, di Jakarta dan sekitarnya
terjadi kerusuhan massal dan penjarahan sehingga kegiatan masyarakat mengalami
kelumpuhan. Dalam peristiwa itu, puluhan toko dibakar dan isinya dijarah,
bahkan ratusan orang mati terbakar.
e. Pada tanggal 19 Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki gedung
MPR/DPR. Pada
saat yang bersamaan, tidak kurang dari satu juta manusia berkumpul di alun-alun
utara Keraton Yogyakarta untuk menghadiri pisowanan agung, guna mendengarkan
maklumat dari Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam VII.
f. Pada tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai pimpinan
MPR/DPR mengeluarkan pernyataan berisi ‘anjuran agar Presiden Suharto
mengundurkan diri’.
g. Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Suharto mengundang
tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk dimintai pertimbangan dalam
rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden Suharto.
h. Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Istana Negara,
Presiden Suharto meletakkan jabatannya sebagai Presiden RI di hadapan Ketua dan
beberapa anggota Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 8 UUD 1945, kemudian Suharto
menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai Presiden
RI.Pada waktu itu juga B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden RI oleh Ketua MA.
Demonstrasi
bertambah gencar dilaksanakan oleh para mahasiswa, terutama setelah pemerintah
mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei
1998.Agenda reformasi yang menjadi tuntutan para mahasiswa mencakup beberapa
tuntutan, seperti:
1. Adili Suharto dan kroni-kroninya,
2. Laksanakan amandemen UUD 1945,
3. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI,
4. Pelaksanaan otonomi daerah yang seluasluasnya,
5. Tegakkan supremasi hukum,
6. Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN.
Agar agenda reformasi
dapat dilaksanakan dan berhasil dengan baik, maka perlu disusun strategi yang
tepat, seperti:
- Menetapkan prioritas, yaitu menentukan
aspek mana yang harus direformasi lebih dahulu dan aspek mana yang
direformasi kemudian.
- Melaksanakan kontrol agar pelaksanaan
reformasi dapat mencapai tujuan dan sasaran secara tepat.
- Reformasi yang tidak terkontrol akan
kehilangan arah, dan bahkan cenderung menyimpang dari norma-norma hukum.
Reformasi semacam ini akan mengalami kegagalan. Dengan demikian, cita-cita
untuk mem-perbaiki kehidupan masyarakat Indonesia tidak akan berhasil.
2.5 Solusi Pasca Reformasi
Untuk menumbuhkan pohon bangsa yang subur dan berbuah
serta tidak berhama, kita harus mengkaji, menganalisa dan memperbaiki dari akar
pohon tersebut sebagai penyebab berdiri dan runtuhnya pohon tersebut. Tiga peranan dalam penyelesaian pohon bangsa
yang akan menjadikan bangsa ini besar dan berkarisma adalah kesadaran serentak
dan bersama-sama antara pohon legislatif, dahan dan ranting eksekutif serta
daun dan kembang masyarakat berbangsa untuk merubah sikap dan memperbaiki
fungsi dan peran di pohon bangsa ini.
- Fungsi pohon legislatif (DPR-MPR)
Untuk penyelesaian dan
perbaikan bangsa adalah bagaimana peran legislatif untuk merubah hukum produk
luar digantikan menjadi hukum nurani kita yang bersumber pada kehidupan madani
tatatentrem kertoraharjo, silih asah silih asih silih asuh dimana hukum kita
mestinya hanya bersumber pada teguran dan pembinaan di bawah pengawasan
perwakilan sesuai idiologi bangsa ini dan tidak menghukumi yang sifatnya
memenjarakan, dimana status manusia, kita samakan dengan fungsi hukuman
terhadap binatang, dimana manusia bangsa ini direndahkan oleh aturan bangsanya
sendiri.
- Fungsi dahan dan ranting pohon
eksekutif (pemerintahan)
Dalam penegakan wibawa
dan pengayoman mengurus dan menata kehidupan berbangsa, saya sarankan
pemerintah mengadakan upacara ritual untuk menyampaikan penghormatan, pengakuan
dan rasa terima kasih kepada seluruh unsur yang mendorong menjadikannya Negara
ini berdiri dan diakui oleh bangsa-bangsa lain. Hal ini perlu dilakukan agar
seluruh komponen pemerintahan tidak terkutuk dan kena imbas nasib para
pendorong pendiri negara ini. Dimana saya melihat nasib seluruh pimpinan Negara
dan jajarannya dari yang terdahulu sampai saat ini seperti mengalami nasib
serupa, dimana setelah berkarya besar di dalam peran kepemimpinannya diakhiri
oleh nasib yang dicampakkan, ibarat habis manis sepah dibuang. Dimana hal ini
menunjukan citra pemerintahan Negara ini kurang baik atas hal itu. Insya Allah
apabila norma penghargaan tersebut telah dijalankan, akan lahir dan terlihat
pemerintahan yang baik dan direstui, yang sepatutnya setiap orang yang telah
berperan dipemerintahan mendapat penghargaan dan penghormatan yang
layak.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gerakan reformasi lahir
sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi kehidupan. Krisis
politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan faktor-faktor yang mendorong
lahirnya gerakan reformasi. Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi salah satu
indikator yang menentukan.
Pergantian kepemimpinan
nasional diharapkan dapat memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, hukum,
sosial, dan budaya. Semua itu merupakan jalan menuju terwujudnya kehidupan yang
aman, tenteram, dan damai.
3.2 Saran
Dengan Reformasi Negara Indonesia harus dapat mengubah
kondisi sosial masyarakat maupun birokrasi pemerintah menjadi lebih baik.
Misalnya: memperbaki
pelayanan terhadap masyarakat untuk mengurus segala sesuatu yang memerlukan
perzinan dari pemerintah.Pemerintah seharus menciptakan tempat pelayanan
masayakat system satu atap sehingga masyarakat yang memerlukan pelayanan dari
pemerindah dapat lebih cepat menyelesaikan segala sesuatu yang dibutuhkannya.
Dengan demikian Pengurusan birokrasi di Indonesia tidak akan bertele-tele dan
dapat di selesaikan dalam waktu yang singkat, maka masyarakat yang ingin
mengembangkan usahanya tidak di repotkan dengan sulit perizinan dari
pemerintah. Tidak menutup kemugkinan pengusaha-pengusaha tersebut dapat
menembus pangsa pasar dunia.
0 komentar:
Posting Komentar